TEMPO.CO,
Pemerintah berencana melakukan tes ulang bagi para guru yang telah lolos
sertifikasi dengan alasan untuk menguji tingkat kompetensi mereka. Hal
itu terkait dengan munculnya kritik terhadap kualitas guru penerima
tunjangan profesional yang ternyata masih rendah. Artinya, tidak ada
relevansi antara tunjangan profesi yang diterima dan kualitas yang
dimiliki. Secara obyektif gagasan tersebut bagus, tapi sekaligus
memperlihatkan maju-mundurnya kebijakan pemerintah mengenai guru.
Pada 2005, Rancangan Undang-Undang Guru dan Dosen disahkan menjadi undang-undang. Dengan undang-undang tersebut, semula diharapkan nasib guru di Indonesia dapat diperbaiki, karena UU ini menempatkan guru sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini di jalur pendidikan formal (pasal 2 ayat 1). Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya sertifikat pendidik (ayat 2).
Harapan semakin membubung ketika pada Desember 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan bahwa guru adalah tenaga profesional, sama halnya dengan profesi dokter atau pengacara. Deklarasi tersebut seolah merupakan babak baru tentang nasib dan kesejahteraan guru di Indonesia. Namun mereka yang sejak awal mengikuti perjalanan RUU Guru (dan Dosen) telah memperkirakan bahwa keberadaan UU Guru dan Dosen tidak akan serta-merta membuat nasib guru berubah sejahtera dan berkualitas. Mengapa?
Pertama, beban guru mengajar selama 24-40 jam tatap muka dalam seminggu (pasal 35 ayat 2) jelas bertentangan dengan semangat meningkatkan kualitas guru itu sendiri. Dengan mengajar selama 24-40 jam tatap muka dalam seminggu, jelas tidak ada waktu bagi guru untuk belajar, karena sibuk dengan urusan mengajar dan administrasi, termasuk mengoreksi pekerjaan murid. Substansi pasal ini telah digugat sejak awal oleh sejumlah guru yang aktif terlibat dalam pembahasan RUU Guru karena, selain dinilai bertentangan dengan semangat meningkatkan kualitas guru, sulit dipenuhi oleh guru yang mengajar di Jawa dan/atau di pusat kota.
Kedua, amanat melakukan sertifikasi pendidik tersebut disambut dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal 12 menyebutkan: “Guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dapat langsung mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikasi pendidik” dan “uji kompetensi pendidik dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio”.
Ketiga, dana pemerintah terbatas, sehingga program sertifikasi tidak dapat dilaksanakan secara serentak untuk 2,7 juta guru di Indonesia. Hal itu jelas melahirkan persoalan baru berupa konflik horizontal antara guru yang sudah mengikuti program sertifikasi serta menerima tunjangan profesional dan guru yang belum memperoleh jatah. Mereka melaksanakan tugas yang sama, tapi besaran gaji yang diterima berbeda.
Urut kacangKarena dana pemerintah untuk membayar tunjangan profesional bagi 2,7 juta guru sekaligus terbatas, kemudian diaturlah dengan sistem kuota. Pada tahun I-III guru yang mengikuti uji kompetensi rata-rata 200 ribu orang per tahun. Lantaran kuota terbatas, pilihan prioritasnya adalah para guru senior alias urut kacang. Mereka yang mengajar lebih dari 20 tahun mendapat giliran lebih dulu. Kebijakan urut kacang ini diterima oleh semua pihak karena dianggap paling adil. Semua akan memperoleh giliran yang sama, hanya soal waktu yang membedakannya. Yang tua mendapat giliran lebih dulu, sedangkan yang muda mendapat giliran belakangan. Bila kuota sertifikasi tidak urut kacang, dikhawatirkan bakal didominasi oleh guru-guru muda yang masih bersemangat untuk belajar, sehingga akhirnya yang tua tidak akan pernah menikmati tunjangan profesional.
Pasal 66 PP Nomor 74 Tahun 2008 secara jelas mengatur bahwa guru yang setelah lima tahun dari keluarnya PP tersebut belum mencapai kualifikasi S-1 atau D-IV tapi usianya telah mencapai 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru atau mempunyai golongan IV-a, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV-a, dapat langsung mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikasi pendidik. Pasal ini dapat menjadi indikasi bahwa sertifikasi pendidik tidak ada kaitannya dengan peningkatan kualitas guru, tapi syarat untuk dapat menerima tunjangan profesional sebagaimana dituntut sebelum adanya UU Guru dan Dosen.
Implementasinya, tidak semua guru yang ikut sertifikasi dengan sistem portofolio lolos. Mereka yang gagal kemudian wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan selama 90 jam di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang mendapat tugas untuk itu. Namun, setelah lolos sertifikasi, mereka tidak serta-merta memperoleh tunjangan profesional. Tunjangan profesional hanya diterima oleh guru yang mengajar 24 jam seminggu. Ketentuan itulah yang kemudian menimbulkan persoalan di lapangan, terutama para guru di Jawa, karena berebut jam mengajar untuk memenuhi 24 jam mengajar.
Berdasarkan regulasi sertifikasi, baik UU maupun PP tersebut, jelas sekali bahwa sertifikasi guru saat ini sudah di jalur yang benar (on the track). Bila hasil sertifikasi yang berlanjut pada pembayaran tunjangan profesi guru itu tidak otomatis berdampak pada peningkatan kualitas guru secara signifikan, hal itu sangat wajar karena sasaran awal tidak ke sana, melainkan untuk peningkatan kesejahteraan guru. Sertifikasi guru adalah sarana untuk menyaring agar pembayaran tunjangan profesional tidak dilakukan dalam waktu serentak untuk 2,7 juta guru, mengingat pemerintah tidak memiliki uang yang cukup untuk itu. Karena pelaksanaan sertifikasi guru dengan penilaian portofolio itu sudah sesuai dengan peraturan yang ada, gagasan untuk mengetes kembali guru-guru yang telah lolos sertifikasi dengan alasan kualitasnya rendah jelas tidak tepat secara yuridis. Kebijakan tersebut melanggar peraturan yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Bila pemerintah tetap kukuh akan melaksanakan kebijakan tersebut, sebaiknya UU dan PP tentang Guru khusus yang mengatur sertifikasi guru diubah terlebih dulu. Sebelum diubah, UU dan PP itu tidak bisa dilaksanakan karena melanggar peraturan perundangan yang ada.
Persoalan kualitas guru tidak bisa diselesaikan dari sisi hilir saja, tapi yang utama justru harus dikendalikan dari hulu, yaitu memperketat perizinan pendirian LPTK baru. Data menunjukkan, setelah tunjangan profesional guru diberikan, jumlah LPTK (swasta) meningkat tajam, bahkan mampu menyelamatkan perguruan tinggi swasta yang akan gulung tikar. Hal itu terjadi karena banyak lulusan sekolah menengah tingkat atas yang tidak diterima di PTN memilih jurusan kependidikan di PTS dengan harapan dapat menjadi guru. Menurut penulis, jauh lebih bijak bila pemerintah memperketat perizinan pendirian LPTK baru dan menyeleksi LPTK yang ada untuk diperkecil jumlahnya, sesuai dengan kebutuhan, daripada mengetes ulang guru yang sudah lolos sertifikasi. Sebab, dilakukannya tes ulang menunjukkan tidak konsistennya kebijakan tentang guru dan tidak menyelesaikan masalah. Guru yang akan datang tetap dari bibit-bibit sisa. Tapi, bila menyeleksi dan membatasi jumlah LPTK di setiap provinsi, itu jelas menyelesaikan masalah dari akarnya. Calon guru yang akan datang sudah tersaring sejak awal kuliah dan tidak melanggar peraturan yang dibuat oleh pemerintah sendiri.
Pada 2005, Rancangan Undang-Undang Guru dan Dosen disahkan menjadi undang-undang. Dengan undang-undang tersebut, semula diharapkan nasib guru di Indonesia dapat diperbaiki, karena UU ini menempatkan guru sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini di jalur pendidikan formal (pasal 2 ayat 1). Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya sertifikat pendidik (ayat 2).
Harapan semakin membubung ketika pada Desember 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan bahwa guru adalah tenaga profesional, sama halnya dengan profesi dokter atau pengacara. Deklarasi tersebut seolah merupakan babak baru tentang nasib dan kesejahteraan guru di Indonesia. Namun mereka yang sejak awal mengikuti perjalanan RUU Guru (dan Dosen) telah memperkirakan bahwa keberadaan UU Guru dan Dosen tidak akan serta-merta membuat nasib guru berubah sejahtera dan berkualitas. Mengapa?
Pertama, beban guru mengajar selama 24-40 jam tatap muka dalam seminggu (pasal 35 ayat 2) jelas bertentangan dengan semangat meningkatkan kualitas guru itu sendiri. Dengan mengajar selama 24-40 jam tatap muka dalam seminggu, jelas tidak ada waktu bagi guru untuk belajar, karena sibuk dengan urusan mengajar dan administrasi, termasuk mengoreksi pekerjaan murid. Substansi pasal ini telah digugat sejak awal oleh sejumlah guru yang aktif terlibat dalam pembahasan RUU Guru karena, selain dinilai bertentangan dengan semangat meningkatkan kualitas guru, sulit dipenuhi oleh guru yang mengajar di Jawa dan/atau di pusat kota.
Kedua, amanat melakukan sertifikasi pendidik tersebut disambut dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal 12 menyebutkan: “Guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik S-1 atau D-IV dapat langsung mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikasi pendidik” dan “uji kompetensi pendidik dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio”.
Ketiga, dana pemerintah terbatas, sehingga program sertifikasi tidak dapat dilaksanakan secara serentak untuk 2,7 juta guru di Indonesia. Hal itu jelas melahirkan persoalan baru berupa konflik horizontal antara guru yang sudah mengikuti program sertifikasi serta menerima tunjangan profesional dan guru yang belum memperoleh jatah. Mereka melaksanakan tugas yang sama, tapi besaran gaji yang diterima berbeda.
Urut kacangKarena dana pemerintah untuk membayar tunjangan profesional bagi 2,7 juta guru sekaligus terbatas, kemudian diaturlah dengan sistem kuota. Pada tahun I-III guru yang mengikuti uji kompetensi rata-rata 200 ribu orang per tahun. Lantaran kuota terbatas, pilihan prioritasnya adalah para guru senior alias urut kacang. Mereka yang mengajar lebih dari 20 tahun mendapat giliran lebih dulu. Kebijakan urut kacang ini diterima oleh semua pihak karena dianggap paling adil. Semua akan memperoleh giliran yang sama, hanya soal waktu yang membedakannya. Yang tua mendapat giliran lebih dulu, sedangkan yang muda mendapat giliran belakangan. Bila kuota sertifikasi tidak urut kacang, dikhawatirkan bakal didominasi oleh guru-guru muda yang masih bersemangat untuk belajar, sehingga akhirnya yang tua tidak akan pernah menikmati tunjangan profesional.
Pasal 66 PP Nomor 74 Tahun 2008 secara jelas mengatur bahwa guru yang setelah lima tahun dari keluarnya PP tersebut belum mencapai kualifikasi S-1 atau D-IV tapi usianya telah mencapai 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru atau mempunyai golongan IV-a, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV-a, dapat langsung mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikasi pendidik. Pasal ini dapat menjadi indikasi bahwa sertifikasi pendidik tidak ada kaitannya dengan peningkatan kualitas guru, tapi syarat untuk dapat menerima tunjangan profesional sebagaimana dituntut sebelum adanya UU Guru dan Dosen.
Implementasinya, tidak semua guru yang ikut sertifikasi dengan sistem portofolio lolos. Mereka yang gagal kemudian wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan selama 90 jam di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang mendapat tugas untuk itu. Namun, setelah lolos sertifikasi, mereka tidak serta-merta memperoleh tunjangan profesional. Tunjangan profesional hanya diterima oleh guru yang mengajar 24 jam seminggu. Ketentuan itulah yang kemudian menimbulkan persoalan di lapangan, terutama para guru di Jawa, karena berebut jam mengajar untuk memenuhi 24 jam mengajar.
Berdasarkan regulasi sertifikasi, baik UU maupun PP tersebut, jelas sekali bahwa sertifikasi guru saat ini sudah di jalur yang benar (on the track). Bila hasil sertifikasi yang berlanjut pada pembayaran tunjangan profesi guru itu tidak otomatis berdampak pada peningkatan kualitas guru secara signifikan, hal itu sangat wajar karena sasaran awal tidak ke sana, melainkan untuk peningkatan kesejahteraan guru. Sertifikasi guru adalah sarana untuk menyaring agar pembayaran tunjangan profesional tidak dilakukan dalam waktu serentak untuk 2,7 juta guru, mengingat pemerintah tidak memiliki uang yang cukup untuk itu. Karena pelaksanaan sertifikasi guru dengan penilaian portofolio itu sudah sesuai dengan peraturan yang ada, gagasan untuk mengetes kembali guru-guru yang telah lolos sertifikasi dengan alasan kualitasnya rendah jelas tidak tepat secara yuridis. Kebijakan tersebut melanggar peraturan yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Bila pemerintah tetap kukuh akan melaksanakan kebijakan tersebut, sebaiknya UU dan PP tentang Guru khusus yang mengatur sertifikasi guru diubah terlebih dulu. Sebelum diubah, UU dan PP itu tidak bisa dilaksanakan karena melanggar peraturan perundangan yang ada.
Persoalan kualitas guru tidak bisa diselesaikan dari sisi hilir saja, tapi yang utama justru harus dikendalikan dari hulu, yaitu memperketat perizinan pendirian LPTK baru. Data menunjukkan, setelah tunjangan profesional guru diberikan, jumlah LPTK (swasta) meningkat tajam, bahkan mampu menyelamatkan perguruan tinggi swasta yang akan gulung tikar. Hal itu terjadi karena banyak lulusan sekolah menengah tingkat atas yang tidak diterima di PTN memilih jurusan kependidikan di PTS dengan harapan dapat menjadi guru. Menurut penulis, jauh lebih bijak bila pemerintah memperketat perizinan pendirian LPTK baru dan menyeleksi LPTK yang ada untuk diperkecil jumlahnya, sesuai dengan kebutuhan, daripada mengetes ulang guru yang sudah lolos sertifikasi. Sebab, dilakukannya tes ulang menunjukkan tidak konsistennya kebijakan tentang guru dan tidak menyelesaikan masalah. Guru yang akan datang tetap dari bibit-bibit sisa. Tapi, bila menyeleksi dan membatasi jumlah LPTK di setiap provinsi, itu jelas menyelesaikan masalah dari akarnya. Calon guru yang akan datang sudah tersaring sejak awal kuliah dan tidak melanggar peraturan yang dibuat oleh pemerintah sendiri.
Sumber : www.tempo.co
*) Darmaningtyas, Pengurus Pusat Badan Musyawarah Perguruan Swasta
*) Darmaningtyas, Pengurus Pusat Badan Musyawarah Perguruan Swasta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar